Selasa, Oktober 30, 2007
Antara Agama, Sekte, Ideologi, Aliran, Ide, Pemikiran Dan Sejenisnya: Mengelola Perbedaan
Realitas di sekeliling kita selalu saja menyuguhkan sebuah fakta bahwa yang aku, dan bukan-aku, yang anda dan bukan-anda, yang kami dan bukan-kami, atau yang kita dan bukan-kita, berwajah dan berperilaku sama dan bukan-sama. Kebhinnekaan dalam ruang tunggal selalu saja menerobos masuk ke dalam ruang privat, ruang pikir, ruang keluarga, ruang emosi, ruang rupa, maupun ruang-ruang yang lainnya dalam satu kekontinuan waktu sadar kita. Seberapapun hebat, seberapapun ternama, seberapapun suci, seseorang atau sebuah organisasi, yang ingin menanamkan dalam benak kesadaran ku dan bukan-aku, bahwasanya realitas beda disekeliling kita, merupakan sebuah imajinasi semu, atau mungkin sebuah kepalsuan, atau bahkan bukan sebagai kebenaran, ia tidak akan mampu mengubah keyakinanku dan mungkin keyakinan bukan-aku. Kejamakan, kebernekaan, kewarnawarnian dunia adalah fakta indera sekaligus fakta logika.
Tentunya kebernekaan dan kewarnawarnian itu berimbas pula ke masalah keyakinan atau ideologi; Entah itu agama, aliran, sekte, madzab, suku, ras, atau yang lainnya. Pertanyaannya disini adalah: Bagaimana mengelola yang beda itu agar dapat hidup berdampingan dan selaras tanpa menimbulkan ketaknyamanan atau ketaktenangan hidup/ Beda kadang dan juga sering menimbulkan pergesekan. Ragam rupa kadang juga sering memecah pertikaian. Warna hati juga teramat sering memicu merah darah di retina kita. Secara naluri pribadi Aku tidak menyukai hal ini. Aku mengatakan secara pribadi disini dengan maksud bahwa tidak jarang terdapat orang yang memang menginginkan sebuah setuasi yang terlalu chaos atau yang bersifat menghancurkan semisal; pertumpahan darah.
Disini Aku juga siap mengakui bahwa (baca: kita) chaos atau perselisihan atau sejenisnya bukan hal yang benar-benar kita musnahkan. Sejauh kesadaran Aku, perselisihan, dan gesekan-gesekan, dan sejenisnya bukan hanya merupakan realitas indera dan kesadaran kita tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan akan perubahan yang lebih maju. Maksudnya adalah tanpa adanya umpan balik dari sebuah kesalahan (berupa kritik, perselisihan, pertikaian, gesekan) kita tidak akan mampu membuat kemajuan. Berawal dari dasar bahwa manusia (baca:kita) bisa salah dan tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa benar, kita kemudian menggunakan kritik atau fakta dari perselisihan untuk mengubah kearah yang lebih baik (tidak berarti benar atau lebih benar).
Kedamaian an sich, merupakan sebuah utopia. Kedamaian pada dasarnya bukan merupakan tujuan utama. Jika kedamaian dalam dirinya sendiri dijadikan tujuan utama secara membabi buta (walaupun ini Aku pikir merupakan kemustahilan menciptakan kedamaian yang berarti kestatisan dan kemandegan) akan menjadikan kita berhenti menempuh kemajuan. Kedamaian bisa menjadi slogan, tetapi tidak ada yang namanya kedamaian abadi atau kedamaian yang tetap. Kedamaian yang abadi atau tetap akan menjadikan diri kita sebagai manusia tidak lagi menjadi manusia. Kedamaian akan menjadikan diri kita mandeg dan statis. Entah itu damai dalam arti seperti damai di hati, damai di raga, damai di suasana, atau damai dalam arti yang luas. Sekali lagi Aku menegaskan bahwa karena fakta dari realitas bahwa beda atau keanekaan akan selalu memicu chaos ke ranah yang nyata (dengan beda kita juga sudah memicu chaos dalam diri kita: pikir, atau emosi), maka kedamaian yang abadi (kedamaian utopia) hanya merupakan slogan gombal yang tiada mungkin diciptakan. Aku disini sangat yakin jika kedamaian utopia ini dijadikan tujuan utama, maka usaha-usaha untuk mewujudkannya harus mengeliminir atau memusnahkan entitas “beda atau keragaman”, yang ini juga berarti akan membuat tragedi yang lebih mengerikan (Pemusnahan massal misalnya).
Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah jika kita telah mengetahui bahwa konflik atau pertikaian atau kritik atau sejenisnya juga merupakan sebuah agen yang berperan penting pada kemajuan kita, apakah ini berarti kita harus melestarikan peperangan, pembunuhan dan sejenisnya? Aku jawab: Tidak, sama sekali tidak demikian maksudnya. Pertikaian atau konflik harus ditangani agar tidak menimbulkan kerugian atau ketakmanfaatan yang banyak. Namun konflik ini juga harus dinilai sebagai umpan balik positif yang berguna bagi pemelajaran kita. Kita hidup dalam rentang tidak sampai satu abad (pergenerasi), generasi selanjutnya membutuhkan pengetahuan kita akan konflik untuk mengelolanya. Konflik akan selalu terjadi. Dan kedamaian hanya bisa diwujudkan dalam istilah “Damai dalam hentakan”. Maksudnya adalah menciptakan kedamaian tidak berarti memusnahkan setiap konflik atau pemicunya tetapi mengusahakan agar damai damai “kecil” terus berlangsung dalam keberlanjutan, sehingga damai menjadi hentakan paling ketara di dunia. Damai dalam ruang waktu merupakan entitas yang akan selalu mendominasi “chaos-chaos”, bukan memusnahkan chaos-chaos itu sendiri.
Untuk itu hal yang terpenting agar mencapai suatu kondisi penuh umpan balik ini adalah dengan cara mengeliminir kejahatan-kejahatan terburuk atau terkejam dalam waktu dan situasi terkini yang ada terlebih dahulu sebagai prioritas utama. Perlu dibangun pula sebuah sistem yang bisa mengelola perbedaan dalam tingkat logika atau kesadaran. Maksudnya perbedaan atau konflik dalam tingkat kesadaran bisa dikelola sekaligus digunakan sebagai aspek umpan balik. Salah satu contoh pengelolaan akan yang beda dalam keragaman ini, yang menurut Aku sangat berhasil adalah sistem “demokrasi”.
Ah, Aku jadi tambah bingung. Kok rasanya logikanya berputar-putar gak karuan.
0 komentar:
Posting Komentar